Selasa, 28 Desember 2010

KET

PEMBAHASAN
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
A. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila sel telur dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri (Ilmu Kebidanan , 2002 : 323).
B. Epidemiologi
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita 20-30 tahun dengan sosio ekonomi rendah dan tinggal di daerah dengan prevalensi gonore dan prevalensi tuberkulosa yang tinggi. Pemakaian antibiotik pada penyakit radang panggul dapat meningkatkan kejadian kehamilan ektopik terganggu. Diantara kehamilan-kehamilan ektopik terganggu, yang banyak terjadi ialah pada daerah tuba (90%) (Prawiroharjo, Sarwono 2002). Pemakaian antibiotik pada penyakit radang panggul dapat meningkatkan kejadian kehamilan ektopik terganggu. Antibiotik dapat mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami infeksi tetapi perlengkapan menyebabkan pergerakan silia dan peristaltic tuba terganggu sehingga menghambat perjalanan ovum yang dibuahi dari ampula kerahim dan berimpalntasi ke tuba.
Kontraksi IUD juga dapat mempengaruhi frekuensi kehamilan ektopik terhadap persalinan di rumah sakit. Banyak wanita dalam masa reproduksi tanpa faktor predisposisi untuk kehamilan ektopik membatasi kelahiran dengan kontrasepsi, sehingga jumlah persalinan turun, dan frekuensi kehamilan ektopik terhadap kelahiran secara relative meningkat. Selain itu IUD dapat mencegah secara efektif kehamilan intrauterin, tetapi tidak mempengaruhi kejadian kehamilan ektopik.
C. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan pembuahan telur di bagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi massih di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah.
D. Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya antara lain pada:
a. Tuba falopii
1) Pars intertitialis
2) Isthmus
3) Ampula
4) Infudibulum
5) Fimbria
b. Uterus
1) Kanalis servikalis
2) Divertikulum
3) Kornua
4) Tanduk rudimenter
c. Ovarium
d. Intraligamenter
e. Abdominal
1) Primer
2) Sekunder
(Prawirohadjo, 1999).
1. Kehamilan tuba, Fertilisasi yakni penyatuanovum dengan spermatozoon terjadi di ampulla tuba. Dari sini ovum yang telah dibuahi digerakan ke kavum uteri dan di tempat yang terakhir ini mengadakan implantasi di endometrium. Keadaan pada tuba yang menghambat atau menghalangi gerakan ini. Dapat menjadi sebab bahwa implantasi terjadi pada endosalping. Selanjutnya ada kemungkinan pula bahwa kelainan paaada ovum yang dibuahi member predisposisi untuk implantasi di luar kavum uteri, akan tetapi hal ini kiranya tidak banyak terjadi. (Prawirohardjo, Sarwono 2005).
2. Kehamilan Heterotipik, Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterine. Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu decade yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah katakan 1 dalam 30.000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidennya sekarang telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi.
3. Kehamilan ovarial, Kehamilan ovarial sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari spigelberg, yakni:
a. Tuba pada sisi kehamilan harus normal,
b. Kantong janin harus belokasi pada ovarium,
c. Ovarium dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovarii proprium,
d. Histopatologis ditemukan jaringan ovarium didalm dindingkantung janin.
4. Kehamilan servikal, Kehamilan servikal pun sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam kanalis servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan.
5. Kehamilan abdominal, Menurut kepustakaan, kehamilan abdominal jarang terjadi kira-kira 1 diantara 1.500 kehamilan. Kehamilan abdominal ada 2 macam yaitu:
a. Kehamilan abdominal primer, terjadi bila telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.
b. Kehamilan abdominal sekunder, berasal dari kehamilan tuba dan setelah rupture baru menjadi kehamilan abdominal. (UNPAD, 2005).
E. Patogenesis
Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan direabsorbsi. Pada nidasi interkolumnar, telur bernidasi antara dua jonjot endosalping.
Setelah tempat nidasi tertutup maka ovum dipisahkan dari lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba malahan kadang-kadang sulit dilihat vili khorealis menmbus endosalping dan masuk kedalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya tergantung dari bebrapa faktor, yaitu; tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.

F. Gambaran Klinik
Kehamilan ektopik biasanya baru memberikan gejala-gejala yang jelas dan khas kalau sudah terganggu dan kehamilan ektopik yang masih utuh, gejala-gejalanya sama dengan kehamilan intrauterin.
G. Gejala-gejala
Pada wanita yang mengalami KET gejala yang terlihat menyerupai Appendiksitis dengan gejala antara lain: nyeri perut bagian bawah, amenore, perdarahan pervaginam, syok karena hipovolemi, pembesaran uterus, tumor dalam rongga panggul, perubahan darah.
Gejala-gejala kehamilan ektopik beraneka ragam, sehingga pembuatan diagnosis kadang-kadang menimbulkan kesulitan, yang penting dalam pembuatan diagnosis kehamilan ektopik ialah supaya pada pemeriksaan penderita selalu waspada terhadap kemungkinan kehamilan ini.
Agar gejala yang muncul pasti karena KET harus didukung oleh hasil pemeriksaan untuk membantu diagnosis: tes kehamilan, laparoskopi, Ultrasonogrfi (USG), Kuldosentesis, Diagnosis diferensial (Diagnosis banding) yang harus diwaspadai adalah: infeksi pelvis, Abortus iminens atau insipent, Torsi kista ovarium, Appendisitis Ruptur korpus luteum.
H. Penanganan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparatomi. Dalam tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik rongga pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invirto setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomia.
I. Prognosis
Kematian ibu yang disebabkan oleh Kehamilan Ektopik Terganggu turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Kehamilan ektopik terganggu pada umumnya bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan) setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami kehamilan ektopik terganggu lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0% sampai14,6%. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomia bilateralis. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui oleh suami isteri sebelumnya.




























DAFTAR PUSTAKA

Rukiyah Yeyeh, dkk, 2010, Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan), Jakarta : Trans Info Media.
Prawirodiharjo, Sarwono, 1997, Ilmu Kandungan, Yayasan Bina PustPaka, Jakarta

KAA (kompresi Aorta Abdominal)

KOMPRESI AORTA ABDOMINAL
1. Kompresi bimanual dan aorta
Kompresi bimanual adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk menghentikan perdarahan secara mekanik. Proses mekanika yang digunakan adalah dengan aplikasi tekanan pada korpus uteri sebagai upaya pengganti kontraksi meometrium (yang untuk sementara waktu tidak dapat berkontraksi). Kontraksi meometrium dibutuhkan untuk menjepit anyaman cabang- cabang pembuluh darah besar yang berjalan diantaranya.
Prosedur ini dilakukan dari luar (kompresi bimanual eksterna) atau dari dalam (kompresi bimanual interna), tergantung tahapan upaya mana yang memberikan hasil atau dapat mengatasi perdarahan yang terjadi. Bila kedua upaya tersebut belum berhasil, segera lakukan usaha lanjutan, yaitu kompresi aorta abdominalis.
Pada keadaan yang sangat terpaksa dan termpat rujukan yang sangat jauh, walaupun bukti- bukti keberhasilan kurang menyokong tapi dapat dilakukan tindakan alternatif yaitu pemasangan tampon uterovaginal dan kompresi eksternal.
Upaya tersebut diatas sebaiknya dikombinsikan dengan uterotonika (oksitosin 20 UI, ergometrin 0,4 mg dan / atau misoprostol 600 mg).
2. Langkah klinik kompresi aorta abdominal
A. Persetujuan tindakan medik
B. Persiapan sebelum tindakan
1. Pasien
1. Infus dan cairannya, sudah terpasang
2. Perut bawah, lipat paha dan vulva, sudah dibersihkan dengan air dan sabun
3. Siapkan alas bokong dan kain penutup perut bawah
4. Uji fungsi dan kelengkapan peralatan resusitasi kardiopolmuner
2. Penolong
1. Baju kamar tindakan
2. Sarung tangan DTT
3. Tensimeter dan stetoskop
C. Tindakan
1. Baringkan ibu diatas ranjang, penolong menghadap sisi kanan pasien. Atur posisi penolong sehingga pasien berada pada ketinggian yang sama dengan pinggul penolong.
2. Tungkai diletakkan pada dasar yang rata (tidak memakai penopang kaki) dengan sedikit fleksi pada artikulasio koksae.
3. Raba pulsasi arteri femoralis dengan jalan meletakkan ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanan pada lipat paha, yaitu pada perpotongan garis lipat paha dengan garis horisontal yang melalui titik 1 sentimeter diatas dan sejajar dengan tepi atas simfisis ossium pubis. Pastikan pulsasi arteri teraba dengan baik.
4. Setelah pulsasi dikenali, jangan pindahkan kedua ujung jari dari titik pulsasi tersebut.
5. Kepalkan tangan kiri dan tekankan bagian punggung jari telunjuk, tengah, manis dan kelingking pada umbilikus ke arah kolumna vertebralis dengan arah tegak lurus.
6. Dorongan kepalan tangan kanan akan mengenai bagian yang keras di bagian tengah/ sumbu badan ibu dan apabila tekanan kepalan tangan kiri mencapai aorta abdominalis maka pulsasi arteri femoralis (yang dipantau dengan ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanan) akan berkurang/ terhenti (tergantung dari derajat tekanan pada aorta).
7. Perhatikan perubahan perdarahan pervaginam (kaitkan dengan perubahan pulsasi arteri femoralis).
Perhatikan:
• Bila perdarahan berhenti sedangkan uterus tidak berkontraksi dengan baik, usahakan pemberian preparat prostatglandin. Bila bahan tersebut tidak tersedia atau uterus tetap tidak dapat berkontraksi setelah pemberian prostatglandin, pertahankan posisi demikian hingga pasien dapat mencapai fasilitas rujukan.
• Bila kontraksi membaik tetapi perdarahan masih berlangsung maka lakukan kompresi eksternal dan pertahankan posisi demikian hingga pasien mencapai fasilitas rujukan.
• Bila kompresi sulit untuk dilakuakan secara terus menerus maka lakukan pemasangan tampon padat uterovaginal, pasang gurita ibu dengan kencang dan lakukan rujukan.
• Kompresi baru dilepaskan bila perdarahan berhenti dan uterus berkontraksi dengan baik. Teruskan pemberian uterotonika
8. Bila perdarahan berkurang atau berhenti, pertahankan posisi tersebut dan lakukan pemijatan uterus (oleh asisten) hingga uterus berkontraksi dengan baik.

Sumber:
Pelayanan Kesehatan Maternatal Dan Neonatal (480-485)

makalah POLIO

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh harus dilaksanakan secara terus-menerus, meyeluruh dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan. Salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah poliomielitis. Poliomielitis adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari 3 virus yang berhubungan yaitu virus polio tipe 1, 2 atau 3. secara klinis penyakit polio adalah anak dibawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis = AFP).
Penyebaran penyakit adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera ditangani.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini agar mahasiswa dapat mengetahui tentang pemberian imunisasi polio. Disamping itu juga untuk memenuhi tugas matakuliah “Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita”.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Pemberian Imunisasi Polio
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) adalah Pekan di mana setiap balita termasuk bayi baru lahir yang bertempat tinggal di Indonesia diimunisasi dengan vaksin polio, tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya.
Pemberian imunisasi polio akan menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit Poliomielitis. Pemberian imunisasi polio secara serentak terhadap semua sasaran akan mempercepat pemutusan siklus kehidupan virus polio liar.
Dengan pemberian serentak kepada seluruh balita di Indonesia terjadi penekanan serentak terhadap berkembang biaknya virus polio liar apabila masuk ke dalam usus. Di alam bebas, virus akan bertahan hanya selama 48 jam. Oleh karena itu pemberian serentak pada seluruh balita merupakan kunci keberhasilan memutuskan rantai penularan.
Ada dua hal penting yang digunakan sebagai landasan atau dasar pemberian imunisasi polio:
1. Vaksinasi polio ini sangat penting agar anak-anak kita tidak tertular virus polio. Virus ini cukup berbahaya. Jika anak terkena sulit untuk diobati. Anak bangsa, khususnya Balita, perlu diupayakan agar terhindar dari penyakit Polio, antara lain melalui pemberian vaksin imunisasi.
2. Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi, dan belum ditemukan IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut.
2.2 Jumlah Pemberian
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal. Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak ada istilah overdosis dalam imunisasi. Pemberian imunisasi 2 kali dengan interval 1 bulan akan memberikan kekebalan rongga usus selama 100 hari.
2.3 Usia Pemberian
Imunisasi polio diberikan sebanyak empat kali dengan selang waktu tidak kurang dari satu bulan. Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DPT.
2.4 Cara Pemberian
Cara pemberian imunisasi polio bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di Indonesia yang digunakan adalah OPV, karena lebih aman.
OPV diberikan dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung kedalam mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang dicampur dengan gula manis. Imunisasi ini jangan diberikan pada anak yang lagi diare berat.
2.5 Efek Samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
2.6 Tingkat Kekebalan
Dapat mencekal hingga 90%. Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN di samping untuk memutus rantai penularan seperti penjelasan di atas, juga berguna sebagai booster atau imunisasi ulangan polio.
2.7 Kontra Indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (diatas 38C), muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan, HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.









BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pemberian imunisasi polio secara serentak terhadap semua sasaran akan mempercepat pemutusan siklus kehidupan virus polio liar. Pemberian imunisasi 2 kali dengan interval 1 bulan akan memberikan kekebalan rongga usus selama 100 hari. Dengan pemberian serentak kepada seluruh balita di Indonesia terjadi penekanan serentak terhadap berkembang biaknya virus polio liar apabila masuk ke dalam usus. Di alam bebas, virus akan bertahan hanya selama 48 jam. Oleh karena itu pemberian serentak pada seluruh balita merupakan kunci keberhasilan memutuskan rantai penularan.
3.2 Saran
Bagi mahasiswa kebidanan diharapkan mampu memahami tujuan, cara pemberian dan segala yang ada hubungannya dengan imunisasi polio.
Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dapat membaca pada literatur yang kami gunakan.



DAFTAR PUSTAKA

http://masakecildulu.wordpress.com/2009/06/25/vaksinasi-polio-dan-cacar/
http://tugaskampuss.blogspot.com/2009/04/pemberian-imunisasi-polio.html
http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=15
http://www.parentsguide.co.id/smf/index.php?topic=34.0
http://www.sidenreng.com/?p=38

format ASKEB neonatus

ASUHAN KEBIDANAN PADA By. N.A UMUR 2 HARI DENGAN BBL NORMAL TANGGAL 25 DESEMBER 2009 DI POLINDES BONGO 4 KABUPATEN BOALEMO

I. PENGUMPULAN DATA

A. IDENTITAS / BIODATA

Nama bayi :

Umur :

Tgl / jam lahir : pukul :

Jenis kelamin :

Berat badan :

Panjang badan :

Nama Ibu : Nama Ayah :

Umur : Umur :

Suku / Bangsa : Suku/ Bangsa :

Agama : Agama :

Pendidikan : Pendidikan :

Pekerjaan : Pekerjaan :

Alamat : Alamat :

B. ANAMNESA ( DATA SUBYEKTIF )

Pada tanggal 25 – 12 2009 pukul : 0830 WITA

1. Riwayat penyakit kehamilan

Perdarahan :

Pre – eklampsia :

Eklampsia :

Penyakit kelamin :

Lain – lain :

2. Kebiasaan waktu hamil

Makanan : Pola makan :

Frekuensi :

Jenis makanan : Kebutuhan minum :

Obat – obatan/ jamu :

Merokok :

Lain – lain :

3. Riwayat persalinan sekarang

a. Jenis persalinan :

b. Di tolong oleh :

c. Lama Persalinan : - Kala I :

- Kala II :

Lamanya :

d. Ketuban Pecah : - Warna :

- Jumlah :

e. Komplikasi persalinan :

f. Keadaan Bayi :

C. PEMERIKSAAN FISIK ( DATA OBYEKTIF )

Keadaan umum :

Ubun – ubun : lunak

Mata : Kedua bola mata baik, tidak ada kotoran, sclera tidak ikterus, bulu mata ada.

Telinga : Kecil

Mulut : Labio palatum : tidak ada

Refleks hisap : ada

Leher : Pembengkakan atau benjolan : Tidak ada

Dada : Simetris kiri dan kanan

Tali pusat : Belum puput

Punggung : Pembengkakan atau benjolan : tidak ada

Ekstremitas : Gerakan aktif, jumlah jari kaki dan tangan lengkap.

Kulit : Merah muda, tidak ada bercak.

Genetalia : Bersih, kedua testis berada ddalam scrotum, lubang uretra terdapat dalam ujung penis.

Anus : Ada, berlubang.

REFLEKS

1. Refleks moro : Bayi bergerak aktif atau kaget jika dijatuhkan benda didekatnya.

2. Refleks rooting : Bayi akan mengikuti arah benda yang didekatkan di mulutnya.

3. Refleks walking : Tangan bayi akan menggenggam jika diletakkan benda ditangannya.

4. Refleks suching : Daya hisap bayi ada.

ANTROPOMETRI

Lingkar kepala : 32 cm

Lingkar dada : 29 cm

Lingkar lengan atas : 10 cm

ELIMINASI

BAB : Sudah 2x dalam sehari

BAB : Sudah 1x berwarna kuning

II. INTERPRETASSI DATA

Diagnosa : BBL normal, umur 2 hari

Dasar : DS : Ibu mengatakan melahirkan normal tanggal 23 – 12 2009

DO : Bayi lahir spontan LBK, bayi segera menangis, JK : laki – laki, BB : 3300 gr, PB : 48 cm.

Msalah : Tidak ada

Kebutuhan : Tidak ada

III. DIAGNOSA POTENSIAL

Tidak ada

IV. TINDAKAN SEGERA

Tidak ada

V. PERENCANAAN

1. Pertahankan suhu tubuh bayi tetap hangat.

2. Beri minum ASI / PASI pada bayi.

3. Rawat bayi sehari – hari.

4. Berikan penjelasan pada orang tua cara menyusui yang benar.

VI. PELAKSANAAN, 25 -12 – 2009 wita

1. Mempertahankan suhu bayi tetap hangat

Mengganti popok / kain basah dan membungkus bayi dengan selimut / loyor.

2. Memberi minum bayi sesuai kebutuhan bayi yaitu tiap 2 jam atau setiap kali bayi menangis.

3. Merawat bayi sehari – hari

* Setiap pagi bayi harus dimandikan dengan air hangat, menggunakan shampoo dan sabun bayi untuk membersihkan bayi.

* Mengganti pakaian atau selimut bayi setiap kali basah dan kotor terkena kotoran.

4. Memberikan penjelasan pada orang tua cara menyusui yang benar

* Sentuhan putting susu atau ujung jari ke bibir sehingga mau membuka mulutnya.

* Segera masukkan puttiing ke dalam mulut bayi, mulut bayi harus mencangkup seluruh putting susu dan bagian areola.

* Posisi duduk sambil memangku bayi merupakan cara baik dilakukan agar ibu dapat meletakan lengannya pada bantal.

* Setalah ataau selama disusui bayi haarus diberi kesempatan untuk mengeluarkan gas ( yang ikut tertelan bersama ASI )dari lambungnya agar tidak kembungoleh karena itu bayi harus disandarkan dengan posisi tegak padaa bahu ibu sambil punggungnya ditepuk pelahan – lahan sambil bayi bersendawa.

* Jika bayi sudah tidak mau menyusuiatau sudah tidur jangan lansung melepaskan putting dari mulut bayi karena tindakan ini dapat menyebabkan cidera putting susu, sebaiknya putting susu dilepaskan secara perlahan – lahan dengan memesukan ujung jari kelingking ke dalam mulut.

VII. EVALUASI

Pada tanggal : 25 – 12 – 2009

ü Ibu mengatakan telah mengerti dengan penjelasan yang diberikan.

ü Ibu mengatakan akan melakukan dengan apa yang dianjurkan.